Hi, readers! This is the first story that i post in my blog :) Comments are needed, so don't be a silent reader and leave a comment.
And please appreciate my hard work to make this story for you to read and enjoy by not copying or claiming this story is yours. This story is purely made by me, so this is mine.
Thank You!
Happy Reading! :D
Our Last Chocolate Bar - Part 1
Author : Agatha Putri Nadya
Semenjak pukul 10 pagi, hujan sudah turun dengan lebat. Lalu sempat berhenti sekitar pukul 11.30 tepat saat murid-murid Saint Allen School akan berjalan menuju kapel sekolah untuk misa sebelum ujian akhir.
Alleluya…Alleluya…Alleluya….
Begitu lagu penutup selesai dinyanyikan, semua murid kembali ke kelas untuk mengambil tas lalu pulang.
“Alleluya!! Kita bebas dari try-out!! Yey! ” seru seorang gadis berambut kemerahan, dengan riangnya sambil berlari keluar gerbang kapel menuju tempat parkir sekolah.
Nadya
“Eitss… jangan happy dulu, ujian akhir masih menanti,” kata Alexa sambil mengerakan telunjuknya ke kanan ke kiri di depan wajahku.
“Yang penting gw bebas dari siksaan try-out yang tiada henti selama 3 bulan ini! Ujian masih nanti, gw mau say good bye dulu sama try-out! ” kataku sambil menghentikan telunjuk Alexa dan berlari menyusul David dan Sean di depan.
Alexa hanya menggeleng sambil tertawa kecil.
~Alexa Lubis, sahabatku sejak SD. Berambut panjang berwarna hitam kecoklatan, berkulit putih, anak yang selalu rapi, ramah, dan multi-talented. Dia berasal dari keluarga yang berkecukupan, tapi penampilannya selalu terlihat simple tapi asik. ~
“Guys, wait for me!”
David dan Sean yang mendengarku berhenti dan menunggu.
~David and Sean. Dua jagoan basket sekolah, terutama David karena sekarang Sean lebih mendalami musik daripada basket which was the most important thing in his life. Dua sahabat gw yang dianggap charming di seantero sekolah ini tinggal di cluster yang sama hanya beda beberapa rumah, pulang pergi ke sekolah selalu bareng – layaknya anak kembar beda bapak beda ibu – kecuali David ada latihan basket atau Sean ada latihan band.~
“No more try-out, guys!!” seru Nico sambil sengaja menepuk pundak David dengan keras. Nico tertawa jahil, sedangkan David menringis menahan sakit di pundaknya itu lalu balas menepuk pundak Nico.
“Nicolaus Dean…… makasih banget buat inget pundak gw sakit,” kata David pada Nico yang menjawab dengan santai dan senyum lebar, “Sama – sama, Vid…”
“Jangan gitu, Nico… kasian bintang basket sekolah kita badannya remuk disiksa latihan sendiri seharian sama pelatihnya yang baik hati. Udahlah..., lepasin pundaknya,” kataku pura-pura membela David, padahal aku juga selalu kerjasama dengan Nico kalau jahil ke teman-teman hehehehe.
“ Ya kan, Vid?” kataku sambil menepuk pundak David setelah Nico melepaskannya.
"WOII!" teriak David spontan. Aku dan Nico pun tertawa.
“Hahahaha. Uuuu tatian David…” kataku dan Nico mengejek lagi sambil berlari 'menyelamatkan diri'.
“Hahahaha. Vid…vid…” kata Alexa di belakang.
Sean yang juga ikut tertawa lalu menyadari hujan mulai turun lagi. “ Woi, hujan lagi nih, buruan yuk!” katanya sambil menarik Alexa dan David. Kami pun berlari menuju sekolah. Tapi sebelum sampai ke dalam sekolah, kami sudah basah karena hujan. Ya…mau gimana lagi?
David
Sambil menungguku memasukan barang-barang ke dalam tas, Sean duduk di atas mejanya sambil mencoba mengeringkan rambutnya yang basah karena hujan.
“Cabut, yuk!”
Sean pun turun dari meja sambil tetap mengeringkan rambutnya, lalu mengikutiku keluar kelas.
“no more try-out~~ no more try-out…” Nico tiba-tiba sudah muncul dan menari-nari random di depanku dan Sean.
Sean menutup matanya dengan tangan kirinya karena geli melihat ulah Nico.
“Nicolaus Dean, please jangan mulai koreografi random-lu di sini, stop!” kataku sambil memegang kedua pundaknya dan berhasil membuat Nico berhenti lalu menyengir lebar.
“Vid, gk ada try-out lagi, berarti gak bisa belajar bareng Alexa lagi donk lu?” tanya Nico seenak jidatnya dengan senyum nakal.
Aku langsung mengarahkan tinju ke wajahnya pura-pura menghajarnya.
“Hehehehe,” balas Nico.
"Untunglah lantai 3 ini sudah sepi, kalau sampai ada yang dengar ucapan Nico tadi…
Eh! Kenapa aku khawatir jika ada yang mendengar ucapan Nico tadi? Tidak ada apa-apa antara aku dan Alexa.
Haaah… apa yang salah denganku? Pasti pikiranku sedang kacau.
David, wake up!" kataku pada diri sendiri dalam hati.
Alexa
Aku dan Nadya menunggu David, Sean, dan Nico, di samping mading sekolah. Sambil menunggu, aku melihat foto-foto hasil lomba fotografi minggu lalu yang baru dipasang di mading tadi pagi. Tiap akhir tahun ajaran, sekolah kami memang selalu mengadakan lomba fotografi.
Mataku menangkap satu foto berwarna hitam putih di deretan sebelah kanan yang berarti milik siswa kelas XII. Belum sempat melihat lebih dekat dan jelas, David, Sean dan Nico sudah datang.
Aku berbalik badan dan terkejut mendapati David di hadapanku, “Hi, Vid” ucapku sedikit kaget.
“Hi, lagi liat apaan?” tanya David
“Oh ini? foto-foto hasil lomba yang baru dipasang tadi pagi,” kataku sambil menunjuk mading.
“Oh…” jawab David sambil mengangguk, “Pulang sekarang yuk!”
Tapi hujan mulai turun lagi begitu kami sampai di pintu keluar.
“O..ow.. hujan lagi,” kata Nico sambil mengacak-acak rambutnya.
Aku membuka tas mencari payung, begitu juga yang lain, kecuali Nadya. “Gak bawa payung, Nad? Mau bareng gak?” tanyaku.
“Iya, tapi gak usah, gw tunggu supir gw aja,” jawab Nadya dan tepat saat itu juga supirnya datang membawakan payung. “Gw duluan ya, bye,” kata Nadya sambil membuka payungnya lalu melewati kerumunan murid di pintu keluar.
“Bye,” kataku dan yang lain serentak.
“Lewat sini aja,” kata Sean yang sudah berlari ke pintu timur.
Tiba-tiba David menarik tanganku.
Aku terdiam.
“Eh ayo, Xa, malah bengong?”
"Eh..e..iya."
Kami pun berjalan keluar lewat pintu timur.
“Yakin jalan kaki, Xa, masih hujan begini?” tanya Nico, “Kenapa gak bareng David aja?”
“Gak usah, hujannya gak deres kok, lagian rumah gw sama David kan beda arah, Nic,” jawabku.
“Oh iya..yaudah gw duluan ya. Daah…” kata Nico saat kami berpisah di lapangan parkir, Nico ke parkiran sepeda, sedangkan Sean dan David ke parkiran mobil.
Aku hanya perlu berjalan kaki karena jarak rumah ke sekolah yang tidak terlalu jauh, sekalian olah raga.
Ternyata ditengah jalan ada sedikit banjir yang membuat lalu lintas jadi macet, termasuk lalu lintas di trotoar. Dan sialnya lagi hujan justru semakin lebat. Aku pun mempercepat langkahku di tengah guyuran hujan dan tentunya genangan air.
Sampai di rumah, ternyata pagar rumahku digembok. “Mang, ini Alexa…tolong bukain pagar,” aku memanggil satpam rumah yang sepertinya ada di dalam rumah karena posnya kosong.
Mang Dadang berlari keluar rumah karena sedang menyeruput kopi hangatnya di dalam.
“Sebentar non, aduh maaf maaf, non,” katanya sambil membuka pagar.
“Makasih, mang.” Aku pun langsung masuk ke rumah lalu langsung mandi.
Setelah mandi aku membersihkan kamarku. Memang ada Marri yang sudah 16 tahun bekerja dirumah, tapi kamarku selalu kubersihkan sendiri.
Aku menyalakan music player di nakas samping tempat tidurku. Lalu melanjutkan bersih-bersih masih dengan handuk diatas kepala. Setelah membereskan tempat tidur yang belum sempat kulakukan tadi pagi, menyapu dan mengepel lantai kamar, aku memutuskan merapikan buku-buku dan file-file lama yang ada di rak buku di sudut kamarku.
There’s a missing pieces inside of me….
Lagu Missing Piece by David Choi membahana di kamarku.
Aku memilih-milih file-file lama, dan ternyata banyak yang sudah tidak terpakai lagi, alias sampah. Aku mengambil tempat sampah kamarku yang tadi kubersihkan di teras belakang lalu membawanya ke kamar. Saat hendak membuang sampah-sampah yang tadi kutemukan, tidak sengaja aku menjatuhkan wadah alat tulis berbentuk ember kecil di atas meja belajarku. Pulpen, stapler, dan alat tulis lain berjatuhan ke lantai. Aku memungut alat tulis itu satu per satu, namun ada satu pensil menggelinding ke bawah tempat tidurku. Aku meraba-raba kolong tempat tidurku mencoba menemukan pensil itu. Lalu tanganku menabrak sesuatu yang agak besar, tidak terlalu berat karena bisa tergeser oleh tanganku, sepertinya sebuah kotak. Aku mencoba menariknya dengan kedua tanganku. Pensilku ikut keluar terdorong oleh kotak itu. Aku mengambil pensil itu lalu mengembalikannya ke dalam wadah ember di atas meja, lalu kembali ke kotak itu.
Kotak berwarna kuning kusam, di bagian depannya tertempel foto dua orang anak kecil. Anak kecil yang di sebelah kiri memakai baju ballet lengkap berwarna soft tosca, warna favoritku, sambil memamerkan gigi ompongnya sambil memegang sebatang coklat, dan anak kecil di sebelah kanan memegang balon sambil menggigit coklat di tangan anak disebelahnya.
Aku tidak ingat kapan aku menyimpan kotak seperti ini di bawah tempat tidurku, tapi rasanya aku tidak asing dengan kotak ini.
Aku masih terus mengamati kotak itu di setiap sisinya sebelum memutuskan untuk membukanya.
Aku membuka kotak itu, menemukan sehelai kertas tisu tipis berwarna putih menutupi isinya.
Call from Nadya...
Ponsel yang kuletakan di atas tempat tidur bergetar. Aku menekan answer.
“Alexaaaa…. Gw tunggu di rumah gw ya. I need your help. See ya!” kata Nadya diujung sana, lalu langsung dimatikan sebelum aku sempat mengucapkan satu kata pun.
Aku menyisir rambutku – menelantarkan kotak misterius itu begitu saja – lalu langsung ke rumah Nadya.
David
Gk ada try-out lagi, berarti gak bisa belajar bareng Alexa lagi donk lu?
Kenapa gak bareng David aja?
Pertanyaan dan kata-kata Nico tadi masih terngiang di kepalaku. Sebenarnya itu hal yang biasa aja, cuma bentuk keisengan Nico yang , harusnya, sudah biasa bagiku.
Alexa Lubis sahabat gw, sahabat Nadya, Sean, dan Nico juga. Alexa yang selalu sabar ngajarin sahabat-sahabatnya belajar.
Belajar bareng sama Alexa itu hal yang biasa kita lakukan dari dulu.
Tapi entah kenapa kali ini gw merasa harus menjawab pertanyaan Nico ke diri gw sendiri.
"Huss lu tu ngapain sih, celotehan Nico aja masih diinget-inget? Dodol…."
Kataku pada diri sendiri.
Aku melepaskan cardigan coklat kotak-kotak bertempelkan logo Saint Allen School. Tiba-tiba tanpa sengaja mataku menangkap sosok Alexa berjalan sambil memegang payungnya yang berwarna soft tosca.
Jari telunjukku meluncur ke tombol window untuk membuka jendela mobil ketika Sean yang duduk di sebelahku memanggil, “Vid, ada lagu baru, nih. Dengerin deh,” kata Sean sambil menyerahkan iPodnya.
Aku menerima iPodnya dan mendengarkan lagu yang ia maksud.
Pikiranku kembali melayang ke Alexa. Lewat spion mobil, aku masih menemukan Alexa. Sempat ada niat menawarkannya tumpangan, tapi toh dia sudah menolaknya saat Nico menawarkan tadi, dan barusan Sean membuyarkan pikiranku.
Pukul 15:27
Sampai di rumah, aku langsung merebahkan diri di atas kasur.
“David! Mandi dulu sana, basah kuyub begitu kok langsung ke kasur sih!” protes mama melihatku dan melemparkan handuk.
“Alright, mom” Aku menangkap handuk darinya, lalu mandi.
Aku duduk di gazebo sambil membersihkan sepatu basket yang telah dicuci seusai latihan kemarin.
Dan lagi-lagi aku teringat Alexa.
Aku merasa ada sesuatu yang beda dari biasanya. Beda dari selama 3 tahun ini bersahabat sama Alexa. Aku merasa aku memandang Alexa dengan cara yang beda.
Beda. Beda.... Sepertinya….
"Tapi apa yang beda? Sepertinya apa? Kenapa? Sejak kapan? Sejak diledekin Nico? Konyol," tanyaku pada diri sendiri.
"Pasti gara-gara Nico doank. Lupakan, Vid… Gak mungkin ada yang beda! Alexa itu sahabat lu! That's all, Vid!" bantahku sendiri.
Aku menampar-nampar pipiku sendiri.
Nadya
Finally… bebas dari try out!!
Untuk menyegarkan pikiran, aku akan buat brownies paling enak dengan resep dari Oma pakar brownies.
"Gak akan seru nih kalau bikin sendirian."
Aku berlari ke ruang keluarga dan meraih gagang telepon. Menekan nomor Alexa yang sudah ku ingat di luar kepala.
Tut….tut…. telepon tersambung.
Begitu diangkat, sebelum Alexa mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung menyuruhnya datang ke rumah untuk membantuku, lalu langsung kututup.
Sambil menunggu Alexa, yang kutahu pasti datang – walau belum memberikan jawaban iya di telepon tadi – aku menyiapkan semua alat dan bahan sesuai resep Oma.
*
Alexa berdiri di depan kulkas. “Belom gw jawab, main nyerocos aja terus langsung di tutup,” protesnya soal telepon tadi.
“Hahahaha yang penting lu udah di sini. Itu namanya to the point,” jawabku sambil menarik Alexa yang manyun ke hadapan semua bahan brownies. "Bantuin bikin brownies ya Alexa yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung."
“Okey, let’s start!”
Alexa mempelajari resep dari Oma beberapa menit, lalu ikut membantuku mengacaukan dapur ini.
“Eh Nad, kenapa lu tiba-tiba bikin brownies?” tanya Alexa.
“Iseng-iseng aja, menyegarkan pikiran dan merayakan kebebasan dari try-out! Selain itu, brownies Oma gw itu beda dari brownies lain, gw mau lu cobain nanti.”
“Ada-ada ajalu merayakan kebebasan dengan bikin brownies,” katanya sambil mengaduk adonan.
*
Teng…teng…teng…teng….. jam antik di ruang keluarga berdentang tujuh kali menunjukan pukul 7 malam.
Saat itu juga 2 loyang brownies resep Oma ala Nadya dan Alexa minta dikeluarkan dari oven.
Ting!
“Yey!! Tinggal di potong-potong deh…” kataku sudah siap dengan pisau, sementara Alexa mengeluarkan 2 loyang brownies beraroma menggoda itu dari oven dan meletakannya di meja saji.
“uuuummm…..” katanya sambil menjilat bibir atasnya.
“HAHAHAHA,” kami tertawa bersama.
“Nad..”
“Yaa..?”
“Kita habisin berdua doank gitu 2 loyang ini?” tanya Alexa sambil meletakan brownies ni piring besar.
“Ya ampun!! Gw lupa, maksud gw tadi tu buat bareng-bareng. Sampai lupa undang yang lain.” Aku benar-benar lupa tujuanku membuat brownies sebanyak ini.
“Lu telepon mereka gih, Xa” perintahku.
Alexa segera mengambil handphone-nya dan menghubungi mereka.
“Mereka bilang OK, they’ll be here soon,” kata Alexa sambil menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk tanda OK.
“Huft….untunglah,” kataku lega mereka bisa datang.
“Terus kita mau ngapain lagi? Masa makan brownies doank?” tanya Alexa
“Iya sih…”
“A!! Nonton aja yuk, lu baru beli DVD kan hari minggu?” usul Alexa.
“Setuju! Gw siapin popcorn dulu ya, lu siapin ‘bioskop’nya!” Alexa memang selalu bisa membantu menyelesaikan keadaan darurat yang kubuat.
Pukul 19:44
‘Bioskop’ dadakan sudah siap, berikut snack dan brownies.
“WOAAAHH,” mulut Nico menganga melihat brownies, popcorn, dan juices yang sudah tertata rapi di coffee table di depan TV ruang keluargaku.
“Let’s have fun, guys!” seruku.
“Welcome to our cinema…” kata Alexa sambil mengambil posisi di depan TV, mencondongkan badan ala penyambut tamu.
“Hahahaha” kami semua tertawa.
Nico, yang bisa dibilang paling gembul, mulai menggila dengan makanan.
Sean mulai memilih film yang akan kami tonton, “When stranger calls, 21 Jump Street…”
“Swenfi …Fumf Stiiff!!” teriak Nico memilih '21 Jump Street' dengan mulut penuh makanan.
“Telen dulu baru ngomong!” kata David sambil menempeleng kepala Nico yang duduk disebelahnya.
Suara guntur mulai terdengar dan hujan turun lagi.
"Semoga tidak mati lampu", kataku dalam hati.
“The Howling Reborn…., The Devil Inside?” lanjut Sean.
“The Devil Inside!” seru David dan Alexa bersamaan tanpa sengaja lalu mereka melakukan toss dengan wajah amat sangat gembira bagaikan memenangkan quiz jutaan rupiah saja.
“Gw juga mau The Devil Inside!” kata sebuah suara dari tangga. Ternyata Nathan, kakak laki-lakiku yang sering ikut seru-seruan bareng kita.
“Wess, muncul juga lu, bang. Kirain gak ada di rumah,” kata Sean yang sesama pecinta musik, “OK, The Devil Inside.”
“Ok!” kataku sambil memutar film dan mengatur subtitle.
Alexa
Pukul 22:28
Ketika akan pulang dari rumah Nadya, hujan justru semakin deras. Dan aku tidak membawa payung. Padahal sudah lebih dari jam 10 malam.
“Udah…lu pulang bareng kita aja, Xa. Daripada nunggu hujan berhenti, udah jam segini lho,” Sean menawarkan.
“Ok, lu gimana, Nic?” kataku
“Gw? Bareng jugalah, tadi kan gw kesini bareng mereka,” jawab Nico.
“Emang tadi gw bilang bakal nganterin lu pulang, Nic?” goda Sean.
“Aissshh,” jawab Nico.
“hahaha just kidding, bro”
“Yaudah kita pulang dulu ya, Nad. Bye..” kataku sambil berjalan keluar.
“Thanks bioskop and snacks-nya, Nad,” kata David.
“Terutama browniesnya!” seru Nico.
“Hahaha, your very welcome, guys, bye!” kata Nadya ketika sampai di teras rumahnya.
Sean sudah berada di mobil dan menyalakan mesin mobilnya.
“Ayo, Xa,” aku menoleh dan mendapati David sudah di sampingku membentangkan jaketnya diatas kepala kami.
Mata kami bertemu. Senyum matanya yang coklat muda tidak pernah berubah sejak dulu.
Aku merasakan jantungku berdebar lebih cepat.
“oh oke,” kataku mengalihkan pandangan ke depan -menghentikan eye contact itu- dan berjalan.
"Oh God, what’s wrong with me?!" protesku dalam hati.
*
What will happen next?
When the reality makes you wanna cry and smile at the same time...
~to be continued... :D
Our Last Chocolate Bar part 2 is still on progress...
Sorry for making you waiting for a long time, thank you so much for visiting :) Happy Reading!